Publik dan industri minyak dan gas (migas) berharap pemerintah Indonesia segera membuat keputusan terkait berbagai isu ketidakpastian di industri migas, termasuk nasib blok-blok migas yang kontraknya akan segera berakhir. Pemerintah dituntut untuk segera membuat keputusan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk manfaat bagi negara, kelanjutan produksi, risiko usaha, komitmen investasi apalagi pemerintah sudah diberi mandat oleh UU (APBN) untuk memenuhi target lifting migas.
* * *
Kondisi industri minyak dan gas bumi di Tanah Air
saat ini menuntut perhatian serius dari pemerintah, pelaku industri maupun
pihak-pihak terkait dengan industri ini. Produksi minyak dan gas cenderung
menurun, padahal kebutuhan dalam negeri terus meningkat seiring peningkatan
permintaan dari sektor industri dan rumah tangga. Persoalan lain adalah
melambatnya investasi asing di sektor migas, baik untuk eksplorasi maupun
eksploitasi atau produksi. Karena itu, pemerintah perlu melakukan berbagai
upaya untuk menarik investasi, antara lain mengatasi berbagai hambatan yang
selama ini membuat investor enggan, mundur atau mengurangi investasi mereka.
Industri minyak dan gas Indonesia cenderung menurun, terlihat dari produksi minyak yang kini tinggal separuh bila dibanding pertengahan tahun 1990. Cadangan minyak sebanyak 4 miliar barel akan habis disedot tahun 2020-an bila tidak ada tambahan cadangan. Beberapa perusahaan migas asing telah membelanjakan US$2 miliar dalam 5 tahun terakhir untuk eksplorasi migas, namun tidak menemukan cadangan yang dapat dikembangkan secara komersil (dryhole).
Pengamat energi maupun pejabat Kementerian ESDM maupun SKK Migas mengatakan cadangan minyak akan habis dalam 12 tahun dan gas Indonesia akan habis dalam 44 tahun. Karena itu perlu dilakukan eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak dan gas baru. Melihat kondisi ini, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi untuk menarik investor, khususnya investor asing, untuk berinvestasi melakukan eksplorasi di bawah laut (offshore & deepwater) atau daerah-daerah yang sulit dijangkau di bagian Timur Indonesia.
Namun, berinvestasi di industri minyak dan gas tidak mudah. Hal ini tercermin dari keluhan yang telah disampaikan oleh pelaku industri migas. Dalam pertemuan penguasa US dan ASEAN (US-ASEAN Business Council) awal minggu ini, persoalan investasi di industri minyak dan gas di Indonesia juga mengemuka.
Keluhan para pelaku usaha
tersebut diakui oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik
saat menerima delegasi US-ASEAN Business Council. Mereka mengeluh terkait
banyaknya aturan yang membelenggu investor dalam melakukan investasi.
Menteri Wacik
menjelaskan para pengusaha atau investor migas sebagian besar mengeluhkan
mengenai aturan yang kerap berubah-ubah sehingga kepastian dan keamanan
melakukan investasi pun dianggap sangat minim.
Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa juga
mengakui para pelaku industri menghadapi berbagai hambatan dalam berinvestasi
seperti perizinan yang berbelit dan lama sehingga menjadi tidak efisien. Untuk
berinvestasi di sektor migas, paling tidak ada terdapat 21 perizinan di
Kementerian ESDM yang harus diperoleh investor migas. Belum lagi, perizinan
dari lembaga-lembaga terkait sebelum investasi dilakukan.
Secara keseluruhan, 1 perusahaan minyak yang ingin
melakukan eksplorasi hingga produksi, harus memenuhi perizinan sebanyak 270
izin. Jumlah izin tidak hanya banyak, tapi prosesnya juga lama dan
berbelit-belit. Karena itu, tidak heran muncul puluhan perusahaan konsultan
migas, yang kerjanya cuma memberikan konsultasi untuk memberikan penjelasan
berbagai wilayah abu-abu investasi migas tersebut dan membantu investor
memperlancar urusan investasi mereka.
Sebagai akibat proses perizinan yang berbelit,
kegiatan eksplorasi menjadi lama, sehingga investor mengalami kerugian. Tidak
hanya investor yang mau berinvestasi yang mengalami kesulitan. Pelaku industri
migas yang sedang beroperasi pun sering menghadapi hambatan di lapangan
sehingga membuat aktivitas produksi terganggu.
Selain perizinan yang berbelit dan lama, berbagai
ketidakpastian juga menghinggapi para pelaku investor migas. Diantaranya,
ketidakpastian kondisi usaha jelang kontrak berakhir dan perpanjangan kontrak.
Terkadang, perusahaan mengajukan permohonan perpanjangan kontrak jauh-jauh hari
5-10 tahun, mengingat investasi migas bersifat jangka panjang, namun, jelang
kontrak berakhir, pemerintah pun belum membuat keputusan. Sebagai contoh, Blok
Siak yang kontraknya akan berakhir 27 November 2013 ini. Namun, hingga saat ini
(pertengahan November), belum juga ada keputusan, sehingga operasional blok
tersebut terancama ditutup paksa, yang tentunya mengirimkan sinyal buruk iklim
usaha.
Demikian juga isu kontrak Blok Mahakam, yang akan
berakhir Maret 2017. Operator telah mengajukan perpanjangan tahun 2007, namun,
hingga saat ini belum ada keputusan dari pemerintah apakah hak pengelolaan blok
tersebut akan diperpanjang atau tidak. Kondisi diperburuk karena berbagai pihak
mengaduk-aduk isu perpanjangan blok Mahakam menjadi liar, sehingga memperburuk
situasi. Isu perpanjangan blok bergerak liar sehingga menjadi isu sosial dan
politik. Berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tidak paham industri
migas maupun pengamat yang pada dasarnya tidak punya latar belakang industri
migas maupun ormas-ormas yang tidak ada kaitannya dengan industri migas pun
turut memperunyam kondisi. Boleh jadi kondisi ini yang akhirnya membuat
pemerintah menunda keputusannya mengenai kelanjutan operasional Blok Mahakam
pasca 2017.
Namun demikian, publik dan industri migas
pemerintah segera membuat keputusan terkait berbagai isu ketidakpastian di
industri migas, termasuk nasib blok-blok migas yang kontraknya akan segera
berakhir. Pemerintah dituntut untuk segera membuat keputusan dengan
mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk manfaat bagi negara, kelanjutan produksi,
risiko usaha, komitmen investasi apalagi pemerintah sudah diberi mandat oleh UU
untuk memenuhi target lifting migas.
Indonesia saat ini membutuhkan kesinambungan
produksi minyak dan gas serta investasi yang besar untuk meningkatkan cadangan
migas. Tanpa eksplorasi mustahil cadangan minyak Indonesia meningkat.
Pemerintah sendiri sudah mengetahui berbagai persoalan yang dihadapi oleh
pelaku industri migas, seperti rumitnya proses perizinan. Tinggal sekarang
keseriusan pemerintah untuk mengatasi berbagai hambatan investasi dan mengirim
sinyal jelas bahwa Indonesia terbuka untuk investasi, khususnya investasi untuk
eksplorasi dan produksi migas. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar