Selasa, 12 November 2013

Indonesia SOS Energi, Investasi Asing di Industri Migas Perlu Ditingkatkan

Publik dan industri minyak dan gas (migas) berharap pemerintah Indonesia segera membuat keputusan terkait berbagai isu ketidakpastian di industri migas, termasuk nasib blok-blok migas yang kontraknya akan segera berakhir. Pemerintah dituntut untuk segera membuat keputusan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk manfaat bagi negara, kelanjutan produksi, risiko usaha, komitmen investasi apalagi pemerintah sudah diberi mandat oleh UU (APBN) untuk memenuhi target lifting migas.


* * *



Kondisi industri minyak dan gas bumi di Tanah Air saat ini menuntut perhatian serius dari pemerintah, pelaku industri maupun pihak-pihak terkait dengan industri ini. Produksi minyak dan gas cenderung menurun, padahal kebutuhan dalam negeri terus meningkat seiring peningkatan permintaan dari sektor industri dan rumah tangga. Persoalan lain adalah melambatnya investasi asing di sektor migas, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi atau produksi. Karena itu, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk menarik investasi, antara lain mengatasi berbagai hambatan yang selama ini membuat investor enggan, mundur atau mengurangi investasi mereka. 

Industri minyak dan gas Indonesia cenderung menurun, terlihat dari produksi minyak yang kini tinggal separuh bila dibanding pertengahan tahun 1990. Cadangan minyak sebanyak 4 miliar barel akan habis disedot tahun 2020-an bila tidak ada tambahan cadangan. Beberapa perusahaan migas asing telah membelanjakan US$2 miliar dalam 5 tahun terakhir untuk eksplorasi migas, namun tidak menemukan cadangan yang dapat dikembangkan secara komersil (dryhole).

Pengamat energi maupun pejabat Kementerian ESDM maupun SKK Migas mengatakan cadangan minyak akan habis dalam 12 tahun dan gas Indonesia akan habis dalam 44 tahun. Karena itu perlu dilakukan eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak dan gas baru. Melihat kondisi ini, pemerintah harus bekerja lebih keras lagi untuk menarik investor, khususnya investor asing, untuk berinvestasi melakukan eksplorasi di bawah laut (offshore & deepwater) atau daerah-daerah yang sulit dijangkau di bagian Timur Indonesia.

Namun, berinvestasi di industri minyak dan gas tidak mudah. Hal ini tercermin dari keluhan yang telah disampaikan oleh pelaku industri migas. Dalam pertemuan penguasa US dan ASEAN (US-ASEAN Business Council) awal minggu ini, persoalan investasi di industri minyak dan gas di Indonesia juga mengemuka.

Keluhan para pelaku usaha tersebut diakui oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik saat menerima delegasi US-ASEAN Business Council. Mereka mengeluh terkait banyaknya aturan yang membelenggu investor dalam melakukan investasi.

Menteri Wacik menjelaskan para pengusaha atau investor migas sebagian besar mengeluhkan mengenai aturan yang kerap berubah-ubah sehingga kepastian dan keamanan melakukan investasi pun dianggap sangat minim.

Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa juga mengakui para pelaku industri menghadapi berbagai hambatan dalam berinvestasi seperti perizinan yang berbelit dan lama sehingga menjadi tidak efisien. Untuk berinvestasi di sektor migas, paling tidak ada terdapat 21 perizinan di Kementerian ESDM yang harus diperoleh investor migas. Belum lagi, perizinan dari lembaga-lembaga terkait sebelum investasi dilakukan.

Secara keseluruhan, 1 perusahaan minyak yang ingin melakukan eksplorasi hingga produksi, harus memenuhi perizinan sebanyak 270 izin. Jumlah izin tidak hanya banyak, tapi prosesnya juga lama dan berbelit-belit. Karena itu, tidak heran muncul puluhan perusahaan konsultan migas, yang kerjanya cuma memberikan konsultasi untuk memberikan penjelasan berbagai wilayah abu-abu investasi migas tersebut dan membantu investor memperlancar urusan investasi mereka.

Sebagai akibat proses perizinan yang berbelit, kegiatan eksplorasi menjadi lama, sehingga investor mengalami kerugian. Tidak hanya investor yang mau berinvestasi yang mengalami kesulitan. Pelaku industri migas yang sedang beroperasi pun sering menghadapi hambatan di lapangan sehingga membuat aktivitas produksi terganggu.

Selain perizinan yang berbelit dan lama, berbagai ketidakpastian juga menghinggapi para pelaku investor migas. Diantaranya, ketidakpastian kondisi usaha jelang kontrak berakhir dan perpanjangan kontrak. Terkadang, perusahaan mengajukan permohonan perpanjangan kontrak jauh-jauh hari 5-10 tahun, mengingat investasi migas bersifat jangka panjang, namun, jelang kontrak berakhir, pemerintah pun belum membuat keputusan. Sebagai contoh, Blok Siak yang kontraknya akan berakhir 27 November 2013 ini. Namun, hingga saat ini (pertengahan November), belum juga ada keputusan, sehingga operasional blok tersebut terancama ditutup paksa, yang tentunya mengirimkan sinyal buruk iklim usaha.

Demikian juga isu kontrak Blok Mahakam, yang akan berakhir Maret 2017. Operator telah mengajukan perpanjangan tahun 2007, namun, hingga saat ini belum ada keputusan dari pemerintah apakah hak pengelolaan blok tersebut akan diperpanjang atau tidak. Kondisi diperburuk karena berbagai pihak mengaduk-aduk isu perpanjangan blok Mahakam menjadi liar, sehingga memperburuk situasi. Isu perpanjangan blok bergerak liar sehingga menjadi isu sosial dan politik. Berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tidak paham industri migas maupun pengamat yang pada dasarnya tidak punya latar belakang industri migas maupun ormas-ormas yang tidak ada kaitannya dengan industri migas pun turut memperunyam kondisi. Boleh jadi kondisi ini yang akhirnya membuat pemerintah menunda keputusannya mengenai kelanjutan operasional Blok Mahakam pasca 2017. 

Namun demikian, publik dan industri migas pemerintah segera membuat keputusan terkait berbagai isu ketidakpastian di industri migas, termasuk nasib blok-blok migas yang kontraknya akan segera berakhir. Pemerintah dituntut untuk segera membuat keputusan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk manfaat bagi negara, kelanjutan produksi, risiko usaha, komitmen investasi apalagi pemerintah sudah diberi mandat oleh UU untuk memenuhi target lifting migas.

Indonesia saat ini membutuhkan kesinambungan produksi minyak dan gas serta investasi yang besar untuk meningkatkan cadangan migas. Tanpa eksplorasi mustahil cadangan minyak Indonesia meningkat. Pemerintah sendiri sudah mengetahui berbagai persoalan yang dihadapi oleh pelaku industri migas, seperti rumitnya proses perizinan. Tinggal sekarang keseriusan pemerintah untuk mengatasi berbagai hambatan investasi dan mengirim sinyal jelas bahwa Indonesia terbuka untuk investasi, khususnya investasi untuk eksplorasi dan produksi migas. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar